"Pertanian adalah masalah hidup dan mati." Benarkah?
- Budi Firman Haryono
- Oct 28, 2016
- 3 min read
Saat saya masih dalam periode ospek, Rektor saya saat itu membakar semangat kami dengan ungkapan “Pertanian adalah masalah hidup dan mati”. Hhhmmm benarkah? Walaupun berasal dari keluarga dan memiliki DNA pertanian didalam diri saya, saat itu saya masih bertanya-bertanya apakah pernyataan diatas benar atau hanya sekedar klise pembakar semangat saja. Pernyataan “pertanian adalah masalah hidup dan mati” sebenarnya diungkapkan pertama kali oleh Presiden Soekarno saat peletakan batu pertama Kampus Institusi Pertanian yang berada di Kota Bogor. Memang ada alasan kenapa Presiden Soekarno mengatakan demikian. Ya, salah satunya adalah pangan adalah sektor penunjang utama lini kehidupan sebuah negara karena jika tidak dianggap serius maka akan menimbulkan permasalahan multidimensi akibat krisis yang ditimbulkan dari pangan itu sendiri. Oke, secara logis bisa diterima. Tetapi, kenapa saya harus benar-benar menyetujuinya? Ada dua hal, yakni sejarah mengapa Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan diatas dan kedua adalah fakta bahwa pertanian kita saat ini masih belum jauh dari yang namanya ancaman krisis.
Baik, saya akan mengulasnya mulai dari sejarah. Pada peletakan batu pertama institusi pertanian di kota bogor pada tahun 1952. Terdapat kutipan pidato Presiden Soekarno, yaitu:

“Aku bertanja kepadamu: sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, mala-petaka, dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati, kenapa dari kalangan-kalanganmu? Kenapa buat tahun 1951/1952 jang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa fakultet pertanian hanja 120 orang, dan bagi fakultet kedokteran hewan hanya 7 orang? Tidak, pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian dan ilmu perhewanan tidak kurang penting dari studie lain-lain, tidak kurang memuaskan djiwa yang bertjita-tjita dan pada studie jang lain-lain. Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak “tjampakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner,kita akan mengalami malapetaka!”
Bahkan, pada saat itu koran-koran ramai memberitakan kenaikan harga beras yang berkali-kali lipat. Bahaya kelaparan terus mengintai rakyat. Bahkan di desa-desa ada rakyat yang makan bonggol pisang. Tak sedikit orang bunuh diri karena tak kuasa memberi makan keluarganya. Solusi saat itu, kita harus mengimpor beras dengan nilai yang cukup fantastis yaitu sekitar USD 150juta (Sumber: FAO 1951). Bung Karno mengetahui hal itu dan tak menampiknya, berbagai cara ia lakukan mulai dari mendirikan institusi pertanian, lembaga penelitian, mekanisasi pertanian, hingga pemanfaatan lahan gambut (yang pada era Presiden Soeharto mulai terjadi konversi lahan yang sangat masif). Hal yang disayangkan oleh Presiden Soekarno saat itu adalah mengenai betapa sayangnya USD 150juta hanya untuk membeli beras impor, padahal seharusnya bisa digunakan untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi negara saat itu.
Tahun pun berganti, kepemimpinanpun juga berganti. Presiden Soeharto naik dan disinilah titik balik pertanian negeri ini mencapai puncaknya saat berhasil melaksanakan swasembada beras dan pemanfaatan gambut untuk hutan tanaman industri dan agribisnis. Bahkan banyak negara tetangga yang belajar kepada kita bagaimana cara mengembangkan pertanian dengan maksimal dan lestari.

Namun, sejak memasuki masa reformasi hingga tahun 2016. Indonesia telah tertinggal 20 tahun dari negara yang dahulu pernah belajar dari kita (yaitu: thailand). Bahkan swasembada pangan hanyalah mimpi disiang bolong. Memang, negara kita handal dalam pengembangan ekonomi dan infrastrukturnya. Tapi, saat kita berbicara mengenai sektor pertanian, negara kita bagaikan singa ompong yang gak bisa apa-apa. Beras impor, daging impor, bahkan garam pun impor! (yang terbaru cangkul juga impor). Memalukan. Kalau seandainya Presiden Soekarno dan Soeharto bangkit dari kuburnya dan melihat “kekacauan” ini mungkin saya akan menebak mereka berdua akan sangat marah mengetahui hal ini.
Ya, memang banyak dari kita belum merasakan efek dari defisit kebutuhan komoditi pangan dan pertanian kita saat ini. Tapi tahun 2050 nanti, bisa jadi diantara kita bukan lagi berbicara mengenai infrastruktur, ekonomi, bahkan SARA sekalipun. Tetapi, kita akan berfokus kepada satu yakni makanan/pangan/pertanian. Ya, jumlah konversi lahan, jumlah petani, perkembangan industri pangan turut menjadi alasan kenapa 2050 nanti masalah pangan akan menjadi isu utama. Karena jika manusia lapar, mereka akan mencari segala cara untuk mendapatkan makanan. Dan ketika alasan irrasional yang dikedepankan maka sudah pasti, keruntuhan sebuah negara tinggal menunggu waktu. Keruntuhan yang disebabkan oleh sebuah alasan konyol: kelaparan.
Ternyata benar, pertanian “memang” masalah hidup dan matinya sebuah negara.
Comments